Analisis Yuridis Perlindungan Hukum terhadap
Konsumen
dari Produk Makanan Berformalin
dari Produk Makanan Berformalin
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Masalah
Pangan
merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak
akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Dewasa ini kesadaran masyarakat
akan makanan sehat semakin meningkat. Kesadaran terhadap pentingnya hidup sehat
menjadi prioritas utama. Contohnya pengurangan dalam penggunaan pupuk maupun
pestisida pada tanaman pangan terus berkembang dan konsumsi makanan organik pun
semakin meningkat.
Makanan
merupakan komponen penting yang sangat berperan dalam kehidpan manusia. Memakan
makanan bukan hanya sekedar memasukkan makanan ke dalam saluran pencernaan,
namun hal terpenting dalam menerapkan makan sesuai gizi seimbang haruslah
diawali dengan prasyarat utama apakah pangan yang dikonsumsi aman, bermutu dan
bergizi bagi kepentingan kesehatan. Artinya, keamanan makanan sangat perlu
untuk diperhatikan setiap orang demi terhindar dari berbagai masalah kesehatan
yang timbul akibat mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Namun di sisi
lain keinginan untuk hidup sehat melalui konsumsi makanan sehat pun dewasa ini tampaknya
tidak seperti yang diharapkan. Penggunaan zat-zat kimia yang dapat membahayakan
kesehatan bahkan dapat membahayakan nyawa manusia pun banyak terkandung dalam
makanan yang biasa dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Banyak pedagang dan
produsen makanan yang demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan menekan
kerugian sekecil-kecilnya menggunakan cara-cara curang untuk membuat makanan
yang mereka buat menjadi lebih awet, tahan lama dan tidak cepat basi. Salah
satu cara yang sering dipakai oleh produsen makanan adalah menambahkan zat-zat
kimiawi yang sebenarnya bukan sebagai bahan tambahan makanan ke dalam makanan. Sebagaimana
data Balai POM di Serang tahun 2014, sekitar 60% tahu yang berformalin
ditambahkan saat diproses di pabriknya. Lebih lanjut lagi, pabrik yang
menambahkan formalin ke dalam tahunya berkapasitas produksi tidak lebih dari
1000 kg/hari. Itu artinya, walaupun kapasitas produksinya kecil, tetapi pelaku
usaha tahu tetap saja menambahkan formalin ke tahunya agar lebih awet.[1] Kemudian
juga berdasarkan data BPOM Denpasar tahun 2010 dari 151 inspeksi ditemukan 17
temuan kasus Makanan Jajanan Anak Sekolah mengandung pewarna dilarang dan
formalin di Bali. Hal ini cenderung meningkat dibandingkan dengan temuan tahun
2009 sekitar 3 kasus dari 165 inspeksi.[2] Penggunaan
zat kimiawi ini dipilih karena dengan alasan harganya jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan bahan tambahan pangan yang diperbolehkan maupun karena
sifatnya yang jauh lebih kuat dalam pengawetan. Motif ekonomi adalah alasan seseorang
untuk melakukan sesuatu atau dorongan dari dalam diri manusia untuk berbuat
atau bertindak secara ekonomis untuk memperoleh keuntungan. Keadaan
perekonomian Indonesia yang semakin sulit, harga bahan-bahan yang semakin
meningkat memacu penjual untuk lebih cerdik dalam memproduksi atau menjual
makanan dengan harga tetap terjangkau. Makanan pada dasarnya tidak dapat
bertahan lama terutama makanan yang mengandung kadar air yang tinggi seperti
tahu, atau bahan makanan mentah seperti daging, ikan, mie, bakso. Penyimpanan
yang relatif singkat ini tentu merugikan para penjual. Penggunaan pengawet
merupakan solusi dari masalah ini, oleh sebab itulah penyalahgunaan pemakaian
formalin dan boraks semakin marak belakangan ini.
Salah satu zat
kimia berbahaya yang terkandung dalam produk-produk makanan olahan yaitu zat
formalin. Formalin merupakan bahan kimia berupa larutan yang tidak berwarna dan
baunya sangat menusuk. Senyawa ini memiliki rumus kimia CH2O, mudah
larut dalam air, sangat reaktif, serta bersifat sebagai pereduksi yang kuat. Di
dalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air. Pada dasarnya
formalin cukup banyak kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Formalin
biasanya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, mengeraskan film, mengkoagulasikan
lateks, pendetoksifikasi toksin dalam vaksin, bahan pembuatan pupuk dalam
bentuk urea, bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetika dan
pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk insulasi busa,
bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood), dan yang paling kita kenal
adalah sebagai cairan pembalsam (pengawet mayat).
Formalin atau
formaldehid adalah salah satu zat tambahan makanan yang dilarang. Senyawa ini
memiliki rumus kimia CH2O, mudah larut dalam air, sangat reaktif,
serta bersifat sebagai pereduksi yang kuat. Formalin memiliki unsur aldehid
yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke
makanan, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan
hingga terus meresap ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat
unsur kimia dari formalin maka protein yang telah mati tersebut tidak akan
diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya
makanan yang berformalin mennjadi lebih awet. Formalin membunuh bakteri dengan
membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air) sehingga sel bakteri
akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan.
Formalin tidak
saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi
lapisan di bawahnya supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila
desinfektan mendeaktivasi serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak
bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formalin akan bereaksi secara
kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan
berikutnya. Melihat sifatnya, formalin apabila termakan sudah tentu juga akan
menyerang protein yang terdapat di dalam tubuh manusia. Terlebih lagi apabila
formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis yang tinggi.
Penggunaan zat
formalin dalam makanan lazim digunakan oleh para pelaku usaha produk makanan
karena berbagai motivasi yang mereka miliki misalnya keinginan untuk meraup
keuntungan yang banyak dan menghindari dari resiko kerugian dari usahanya
tersebut. Jika pelaku usaha menyalahi peraturan mengenai penggunaan bahan-bahan
zat kimia berbahaya tersebut tentunya konsumen yang akan menjadi korban akibat
dari penggunaan zat-zat kimia berbahaya tersebut.
Pemerintah
telah menyatakan secara tegas dalam Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan RI
No 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan bahwa formalin tidak boleh
dipergunakan sebagai bahan tambahan pangan.[3] Faktor
utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi
konsumen dan para pelaku usaha akan hak dan kewajibannya, serta menjadi
landasan hukum yang kuat pula bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.[4]
Pasal 4
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
konsumen memiliki hak. Salah satu hak dari konsumen tersebut dinyatakan dalam
pasal 4 huruf a yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkomsumsi barang dan atau jasa.[5]
Pada
kenyataannya, hak-hak konsumen itu pun kerap diabaikan oleh pelaku usaha dalam
memproduksi barang dan atau jasa. Masih ditemukan para pelaku usaha yang dalam
memproduksi barang dan atau jasa tidak memperhatikan hak konsumen tersebut. Pelaku
usaha sering kali tidak memperhatikan risiko dari produk yang dihasilkannya
atau yang diproduksinya. Penggunaan bahan kimia seperti pemanis buatan, bahan
pewarna, formalin dan bahan-bahan kimia lainnya masih digunakan dengan kadar
melebihi ketentuan sehingga tanpa disadari oleh masyarakat merupakan produk
pangan yang dikomsumsi setiap hari oleh masyarakat. Produk-produk pangan yang
dikomsumsi oleh masyarakat tersebut merupakan produk pangan yang telah
terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Banyak pelaku usaha yang tidak transparan dalam mencantumkan komposisi bahan
tambahan pangan, dan adanya penggunaan bahan-bahan kimia yang lain dalam pembuatan
produk, dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi konsumen yang mengkomsumsi
produk-produk tersebut.
Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001 dibentuklah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang dalam pelaksanaan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Badan POM:[6]
- Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
- Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
- Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM.
- Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
- Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Badan POM
mempunyai beberapa tujuan yang diharapkan dapat memberikan alat preventif untuk
melakukan perlindungan konsumen. Beberapa tujuan yang menjadi target kinerja
dari Badan POM adalah:[7]
- Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA
- Terkendalinya mutu, keamanan, dan khasiat/ kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran.
- Tercegahnya resiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat.
- Pengurangan kasus pencemaran pangan.
- Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetisi dan keterampilan personil yang memadai.
- Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.
Oleh karena
itu, pihak pelaku usaha dalam memproduksi makanan harus memperhatikan apa yang
menjadi kewajibannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau jasa penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pihak pelaku
usaha bertanggung jawab penuh atas kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh mutu
atau kualitas dan keamanan dari produk-produk yang dihasilkan. Produk yang
dihasilkan harus cukup aman untuk dikomsumsi oleh konsumen. Pertanggungjawaban
yang diberikan oleh pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus
sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang dikenal dalam dunia hukum,
khususnya yaitu sebagai berikut:
- Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
- Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
- Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggungjawab
Ganti rugi atas
kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang
komsumsi, merupakan salah satu hak pokok konsumen dalam hukum perlindungan
konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal di samping hak-hak pokok
lainnya. Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakekatnya
berfungsi sebagai:[8]
- Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar.
- Pemulihan atas kerugian materill maupun imaterill yang telah dideritanya
- Pemulihan pada keadaan semula
Kerugian yang
dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang komsumsi
itu dapat diklasifikasikan ke dalam:
- Kerugian materil, yaitu berupa kerugian pada barang-barang yang dibeli.
- Kerugian imaterill, yaitu kerugian yang membahayakan kesehatan dan atau jiwa konsumen.
B. Rumusan
Permasalahan
1. Bagaimana aturan hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen?
2. Bagaimanakah penerapan hukum perlindungan
konsumen terhadap produk makanan yang berformalin?
3. Apakah penerapan hukum perlindungan konsumen
terhadap produk makanan berformalin sudah sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku?
C. Tujuan
Penulisan
D. Kerangka Teori
dan Konseptual
E. Metode
Penelitian
F. Sistematika
Penulisan
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Permasalahan
C. Tujuan Penulisan
D. Kerangka Teori dan Konseptual
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
Bab II Aturan
Hukum tentang Perlindungan Konsumen
A. Hukum Perlindungan Konsumen
B. Pengaturan tentang Produk Makanan Berformalin
Bab III Penerapan
Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan Berformalin
A. Peredaran Produk Makanan Berformalin di
Masyarakat
B. Penegakan Hukum terhadap Produk Makanan
Berformalin
Bab IV Analisis
Yuridis Kesesuaian Penerapan Hukumnya dengan Aturan Hukum yang Berlaku
A. Analisis Yuridis Aturan Hukum Perlindungan
Konsumen terhadap Produk Makanan Berformalin
B. Analisis Yuridis Penerapan Hukumnya
C. Analisis Yuridis Kesesuaian Antara Penerapan
Hukumnya dengan Aturan Hukum Perlindungan Konsumen
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
[1] Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tahu-ku Aman
dari Formalin”, diakses 17 April 2015, 10:13,
http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/7355/Tahu-Ku-Aman-dari-Formalin.html
[2] Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman, “Radiasi Makanan”,
diakses 17 April 2015, 10:21, http://www.pipimm.or.id/rubrik.php?view=1&id=28
[4] Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan
Konsumen, Cetakan pertama, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm 32.
[5] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[6] Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 02001/SK/KBPOM
Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan.
[7]
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
No. HK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011 tentang Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM).