Kamis, 16 April 2015

Judul Penulisan MPH



Analisis Yuridis Perlindungan Hukum terhadap Konsumen
dari Produk Makanan Berformalin
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa makan dan minum yang cukup jumlah dan mutunya, manusia tidak akan produktif dalam melakukan aktivitasnya. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan makanan sehat semakin meningkat. Kesadaran terhadap pentingnya hidup sehat menjadi prioritas utama. Contohnya pengurangan dalam penggunaan pupuk maupun pestisida pada tanaman pangan terus berkembang dan konsumsi makanan organik pun semakin meningkat.
Makanan merupakan komponen penting yang sangat berperan dalam kehidpan manusia. Memakan makanan bukan hanya sekedar memasukkan makanan ke dalam saluran pencernaan, namun hal terpenting dalam menerapkan makan sesuai gizi seimbang haruslah diawali dengan prasyarat utama apakah pangan yang dikonsumsi aman, bermutu dan bergizi bagi kepentingan kesehatan. Artinya, keamanan makanan sangat perlu untuk diperhatikan setiap orang demi terhindar dari berbagai masalah kesehatan yang timbul akibat mengkonsumsi makanan yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Namun di sisi lain keinginan untuk hidup sehat melalui konsumsi makanan sehat pun dewasa ini tampaknya tidak seperti yang diharapkan. Penggunaan zat-zat kimia yang dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat membahayakan nyawa manusia pun banyak terkandung dalam makanan yang biasa dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Banyak pedagang dan produsen makanan yang demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan menekan kerugian sekecil-kecilnya menggunakan cara-cara curang untuk membuat makanan yang mereka buat menjadi lebih awet, tahan lama dan tidak cepat basi. Salah satu cara yang sering dipakai oleh produsen makanan adalah menambahkan zat-zat kimiawi yang sebenarnya bukan sebagai bahan tambahan makanan ke dalam makanan. Sebagaimana data Balai POM di Serang tahun 2014, sekitar 60% tahu yang berformalin ditambahkan saat diproses di pabriknya. Lebih lanjut lagi, pabrik yang menambahkan formalin ke dalam tahunya berkapasitas produksi tidak lebih dari 1000 kg/hari. Itu artinya, walaupun kapasitas produksinya kecil, tetapi pelaku usaha tahu tetap saja menambahkan formalin ke tahunya agar lebih awet.[1] Kemudian juga berdasarkan data BPOM Denpasar tahun 2010 dari 151 inspeksi ditemukan 17 temuan kasus Makanan Jajanan Anak Sekolah mengandung pewarna dilarang dan formalin di Bali. Hal ini cenderung meningkat dibandingkan dengan temuan tahun 2009 sekitar 3 kasus dari 165 inspeksi.[2] Penggunaan zat kimiawi ini dipilih karena dengan alasan harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan bahan tambahan pangan yang diperbolehkan maupun karena sifatnya yang jauh lebih kuat dalam pengawetan. Motif ekonomi adalah alasan seseorang untuk melakukan sesuatu atau dorongan dari dalam diri manusia untuk berbuat atau bertindak secara ekonomis untuk memperoleh keuntungan. Keadaan perekonomian Indonesia yang semakin sulit, harga bahan-bahan yang semakin meningkat memacu penjual untuk lebih cerdik dalam memproduksi atau menjual makanan dengan harga tetap terjangkau. Makanan pada dasarnya tidak dapat bertahan lama terutama makanan yang mengandung kadar air yang tinggi seperti tahu, atau bahan makanan mentah seperti daging, ikan, mie, bakso. Penyimpanan yang relatif singkat ini tentu merugikan para penjual. Penggunaan pengawet merupakan solusi dari masalah ini, oleh sebab itulah penyalahgunaan pemakaian formalin dan boraks semakin marak belakangan ini.
Salah satu zat kimia berbahaya yang terkandung dalam produk-produk makanan olahan yaitu zat formalin. Formalin merupakan bahan kimia berupa larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk. Senyawa ini memiliki rumus kimia CH2O, mudah larut dalam air, sangat reaktif, serta bersifat sebagai pereduksi yang kuat. Di dalam formalin terkandung sekitar 37% formaldehid dalam air. Pada dasarnya formalin cukup banyak kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Formalin biasanya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, mengeraskan film, mengkoagulasikan lateks, pendetoksifikasi toksin dalam vaksin, bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea, bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk insulasi busa, bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood), dan yang paling kita kenal adalah sebagai cairan pembalsam (pengawet mayat).
Formalin atau formaldehid adalah salah satu zat tambahan makanan yang dilarang. Senyawa ini memiliki rumus kimia CH2O, mudah larut dalam air, sangat reaktif, serta bersifat sebagai pereduksi yang kuat. Formalin memiliki unsur aldehid yang bersifat mudah bereaksi dengan protein, karenanya ketika disiramkan ke makanan, formalin akan mengikat unsur protein mulai dari bagian permukaan hingga terus meresap ke bagian dalamnya. Dengan matinya protein setelah terikat unsur kimia dari formalin maka protein yang telah mati tersebut tidak akan diserang bakteri pembusuk yang menghasilkan senyawa asam. Itulah sebabnya makanan yang berformalin mennjadi lebih awet. Formalin membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri dehidrasi (kekurangan air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk lapisan baru di permukaan.
Formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan mendeaktivasi serangan bakteri dengan cara membunuh dan tidak bereaksi dengan bahan yang dilindungi, maka formalin akan bereaksi secara kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan berikutnya. Melihat sifatnya, formalin apabila termakan sudah tentu juga akan menyerang protein yang terdapat di dalam tubuh manusia. Terlebih lagi apabila formalin yang masuk ke tubuh itu memiliki dosis yang tinggi.
Penggunaan zat formalin dalam makanan lazim digunakan oleh para pelaku usaha produk makanan karena berbagai motivasi yang mereka miliki misalnya keinginan untuk meraup keuntungan yang banyak dan menghindari dari resiko kerugian dari usahanya tersebut. Jika pelaku usaha menyalahi peraturan mengenai penggunaan bahan-bahan zat kimia berbahaya tersebut tentunya konsumen yang akan menjadi korban akibat dari penggunaan zat-zat kimia berbahaya tersebut.
Pemerintah telah menyatakan secara tegas dalam Lampiran II Peraturan Menteri Kesehatan RI No 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan bahwa formalin tidak boleh dipergunakan sebagai bahan tambahan pangan.[3] Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi konsumen dan para pelaku usaha akan hak dan kewajibannya, serta menjadi landasan hukum yang kuat pula bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.[4]
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen memiliki hak. Salah satu hak dari konsumen tersebut dinyatakan dalam pasal 4 huruf a yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan atau jasa.[5]
Pada kenyataannya, hak-hak konsumen itu pun kerap diabaikan oleh pelaku usaha dalam memproduksi barang dan atau jasa. Masih ditemukan para pelaku usaha yang dalam memproduksi barang dan atau jasa tidak memperhatikan hak konsumen tersebut. Pelaku usaha sering kali tidak memperhatikan risiko dari produk yang dihasilkannya atau yang diproduksinya. Penggunaan bahan kimia seperti pemanis buatan, bahan pewarna, formalin dan bahan-bahan kimia lainnya masih digunakan dengan kadar melebihi ketentuan sehingga tanpa disadari oleh masyarakat merupakan produk pangan yang dikomsumsi setiap hari oleh masyarakat. Produk-produk pangan yang dikomsumsi oleh masyarakat tersebut merupakan produk pangan yang telah terkontaminasi dengan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan berbagai penyakit. Banyak pelaku usaha yang tidak transparan dalam mencantumkan komposisi bahan tambahan pangan, dan adanya penggunaan bahan-bahan kimia yang lain dalam pembuatan produk, dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi konsumen yang mengkomsumsi produk-produk tersebut.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 dibentuklah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang dalam pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Badan POM:[6]
  1. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
  2. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
  3. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM.
  4. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
  5. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
Badan POM mempunyai beberapa tujuan yang diharapkan dapat memberikan alat preventif untuk melakukan perlindungan konsumen. Beberapa tujuan yang menjadi target kinerja dari Badan POM adalah:[7]
  1. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA
  2. Terkendalinya mutu, keamanan, dan khasiat/ kemanfaatan produk obat dan makanan termasuk klim pada label dan iklan di peredaran.
  3. Tercegahnya resiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat pengelolaan yang tidak memenuhi syarat.
  4. Pengurangan kasus pencemaran pangan.
  5. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetisi dan keterampilan personil yang memadai.
  6. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antar sesama dan pihak terkait.
Oleh karena itu, pihak pelaku usaha dalam memproduksi makanan harus memperhatikan apa yang menjadi kewajibannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
  1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
  2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa, serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
  3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif.
  4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku
  5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu, serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau diperdagangkan.
  6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau jasa penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pihak pelaku usaha bertanggung jawab penuh atas kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh mutu atau kualitas dan keamanan dari produk-produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan harus cukup aman untuk dikomsumsi oleh konsumen. Pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk yang dikenal dalam dunia hukum, khususnya yaitu sebagai berikut:
  1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan
  2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
  3. Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggungjawab
Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang komsumsi, merupakan salah satu hak pokok konsumen dalam hukum perlindungan konsumen. Hak atas ganti rugi ini bersifat universal di samping hak-hak pokok lainnya. Ganti rugi atas kerugian yang diderita konsumen pada hakekatnya berfungsi sebagai:[8]
  1. Pemulihan hak-haknya yang telah dilanggar.
  2. Pemulihan atas kerugian materill maupun imaterill yang telah dideritanya
  3. Pemulihan pada keadaan semula
Kerugian yang dapat diderita konsumen sebagai akibat dari pemakaian barang-barang komsumsi itu dapat diklasifikasikan ke dalam:
  1. Kerugian materil, yaitu berupa kerugian pada barang-barang yang dibeli.
  2. Kerugian imaterill, yaitu kerugian yang membahayakan kesehatan dan atau jiwa konsumen.
B.     Rumusan Permasalahan
1.      Bagaimana aturan hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen?
2.      Bagaimanakah penerapan hukum perlindungan konsumen terhadap produk makanan yang berformalin?
3.      Apakah penerapan hukum perlindungan konsumen terhadap produk makanan berformalin sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku?
C.    Tujuan Penulisan
D.    Kerangka Teori dan Konseptual
E.     Metode Penelitian
F.     Sistematika Penulisan
Bab I   Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Permasalahan
C.     Tujuan Penulisan
D.    Kerangka Teori dan Konseptual
E.     Metode Penelitian
F.      Sistematika Penulisan
Bab II  Aturan Hukum tentang Perlindungan Konsumen
A.    Hukum Perlindungan Konsumen
B.     Pengaturan tentang Produk Makanan Berformalin
Bab III            Penerapan Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Makanan Berformalin
A.    Peredaran Produk Makanan Berformalin di Masyarakat
B.     Penegakan Hukum terhadap Produk Makanan Berformalin
Bab IV            Analisis Yuridis Kesesuaian Penerapan Hukumnya dengan Aturan Hukum yang Berlaku
A.    Analisis Yuridis Aturan Hukum Perlindungan Konsumen terhadap Produk Makanan Berformalin
B.     Analisis Yuridis Penerapan Hukumnya
C.     Analisis Yuridis Kesesuaian Antara Penerapan Hukumnya dengan Aturan Hukum Perlindungan Konsumen
Bab V  Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran


[1] Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tahu-ku Aman dari Formalin”, diakses 17 April 2015, 10:13, http://www.pom.go.id/new/index.php/view/berita/7355/Tahu-Ku-Aman-dari-Formalin.html
[2] Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman, “Radiasi Makanan”, diakses 17 April 2015, 10:21, http://www.pipimm.or.id/rubrik.php?view=1&id=28
[3] Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.
[4] Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan pertama, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm 32.
[5] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
[6] Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan.
[7] Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.04.1.28.11.11.09219 tahun 2011 tentang Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM).
[8] Adrian Sutedi, op.cit, hlm 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar